Minggu, 29 April 2012

Contoh Kajian Objektif, Struktural, Simeotik Dalam Puisi Karawang Bekasi(Chairil Anwar)

ganz, 10/04/2012

KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

PEMBAHASAN
1.1. OBJEKTIF
“KRAWANG-BEKASI”.Kalau melihat dari judul tersebut Chairil ingin menegaskan arti penting dari peristiwa yang berkaitan dengan tempat.Tempat merupakan identitas bagi seseorang,tempat merupakan titik nol dari suatu kejadian.Disini seakan ada pesan jangan sampai kita lupa terhadap asal usul kita,tempat kita,dimana suatu peristiwa itu terjadi,sekecil apapun tempat itu,kalau mengandung nilai sejarah harus tetap kita hargai sebagaimana mestinya.Karena dari sana nilai sejarah itu bermula.Krawang dan Bekasi adalah sebuah kota kecil yang berada dekat Jakarta,akan tetapi dari sanalah ada sesuatu yang ingin di ungkap oleh Sang Penyair arti dari sebuah perjuangan.Dari kota kecil itulah ada sesuatu yang besar yang telah dikorbankan demi Kemerdekaan Indonesia.Bila dibandingkan dengan Jakarta,Krawang dan Bekasi tidak ada apa-apanya,tetapi menurut Sang Penyair dari Krawang dan Bekasi itulah nilai sejarah Bangsa di torehkan hal itu terlihat pada kata-kata :
“ Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi"
Pada kata “Kami yang terbaring antara Krawang-Bekasi” ini mengandung makna berapa banyak para pejuang yang telah gugur di daerah Krawang dan Bekasi.Hal itu di perkuat lagi dengan kata:
“Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa”
Pada Kalimat tersebut tertulis “Belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa”.Betapa banyaknya Pahlawan yang telah gugur sampai-sampai Sang Penyair mengingatkan pada kita apa arti dari 4 sampai 5 ribu nyawa yang telah menjadi tulang-tulang yang berserakan,dan tulang-tulang yang berserakan itu berada di daerah kecil yang bernama “KRAWANG dan BEKASI”.Sebuah pengorbanan menjadi total ketika segenap jiwa dan raga menjadi taruhanya.Bumi akan bahagia bila sang putranya menyiram dengan darah para pejuang,Bumi mempunyai nilai lebih bila di tempat itu bersemayam bunga-bunga bangsa yang senantiasa menjadi pembelanya.Bumi tidak akan kecewa karena dari situlah dilahirkan putra-putra terbaiknya yang senantisa siap untuk menjaga dan membelanya.Harkat dan martabat Ibu Pertiwi menjadi tinggi karena Putra-putra terbaiknya senatiasa menjadi pengawalnya.

1. Sense (tema, arti)
Sense atau tema adalah pokok persoalan (subyek matter) yang dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya. Pokok persoalan dikemukakan oleh pengarang baik secara langsung maupun secara tidak langsung (pembaca harus menebak atau mencari-cari, menafsirkan).
Dilihat dari Sense karya Chairil Anwar dengan judul “Krawang-Bekasi” ini bertemakan perjuangan,sebuah tema yang identik dengan diri Sang Penyair,karena beliau hidup pada masa perjuangan yang penuh dengan heroisme dan beliau dikenal dengan pelopor angkatan’45.
Hal itu dapat dilihat dari kata : “Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi”.Kata “Merdeka” dan angkat senjata lagi mempunyai pengertian sebuah penjuangan untuk kebebasan mengatur negerinya sendiri.Salah satunya cara untuk mencapai cita-cita tersebut adalah dengan angkat senjata yaitu dengan jalan “Perang”.Pada kalimat lain nampak jelas kalau tema yang diangkat pada “Krawang-Bekasi” adalah sebuah perjuangan yaitu pada kalimat :” Teruskan, teruskan jiwa kami”,pada kalimat itu perjuangan harus dilanjukan meskipun banyak korban yang berjatuhan.Sedang yang dimaksud dengan “jiwa kami” adalah semangat dari para pendahulu yang telah gugur di medan perang supaya dapat dilanjutkan oleh generasi yang akan datang.
2. Feeling (rasa)
Feeling adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya. Setiap penyair mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi suatu persoalan.
Sikap penyair dalam karya tersebut sangat tegas,lugas tanpa basa-basi dalam suatu perjuangan,hal itu dapat dilihat dari kata-kata :” Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan
dan harapan atau tidak untuk apa-apa,”.Pada kalimat tersebut terlihat bahwa sang penyair tidak mempunyai pamrih apa-apa dalam berjuang.Semua itu diserahkan oleh orang yang menilainya,yaitu jiwa mereka,semangat mereka itu dinilai untuk kemerdekaan,kemenangan,dan harapan atau tidak untuk apa-apa.Hal inilah yang kami katakan tidak mempunyai “Pamrih”apa-apa dalam perjuangan yang berkaitan dengan dirinya.Yang penting ia berjuang untuk mencapai kemerdekaan.
3. Tone (nada)
Yang dimaksud tone adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat karyanya pada umumnya. Terhadap pembaca, penyair bisa bersikap rendah hati, angkuh, persuatif, sugestif.
Pada karya “Krawang-Bekasi” ini sikap penyair terhadap pembaca adalah “Rendah Hati” dan “Tegas”hal itu terlihat pada kata pengharapan yanga ada yaitu :
“Kenang,kenanglah kami”
“Kami sudah coba apa yang kami bisa”
“Tapi kerja belum selesai,belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa”
“Kami cuma tulang-tulang berserekan”
“Tapi adalah kepunyaanmu”
Pada bait diatas terlihat betapa Sang Penyair dengan kalimat pengaharap kepada pembacanya,penikmatnya,pemerhatinya menggunakan pilihan akhiran “lah” pada kata “kenanglah” dan rasa rendah hati itu dipertegas pada kalimat berikutnya yaitu : “Kami sudah coba apa yang kami bisa”.Pada kalimat tersebut dapat kita ketahui bahwa perjuangan itu penuh resiko tetapi Sang Penyair menyatakan bahwa ia sudah mencoba apa yang ia bisa walaupun nyawa jadi taruhannya.Meskipun begitu tetap ia menyatakan apa yang dilakukan belum selesai,memang selamanya perjuangan itu akan berkelanjutan sampai hayat dikandung badan.Kalimat lain yang menyatakan merendah adalah :”Kami Cuma tulang-tulang yang berserakan.Tapi adalah kepunyaanmu”.Pada kalimat itu ada kata “Cuma” yang seakan-akan hal itu tidak berarti,karena dinyatakan sebagai tulang-tulang yang berserakan.Padalah tulang-tulang yang berserakan itu adalah tulang para pejuang yang telah mengorbankan diri untuk tanah air dan bangsa.
4. Intention (tujuan)
Intention adalah tujuan penyair dalam menciptakan puisi tersebut. Walaupun kadang-kadang tujuan tersebut tidak disadari, semua orang pasti mempunyai tujuan dalam karyanya. Tujuan atau amanat ini bergantung pada pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, dan keyakinan yang dianut penyair
Tujuan dari Sang Penyair dalam karyanya “Krawang-Bekasi” disini sangat jelas yaitu sebagaimana karya-karya yang lainnya yang berkaitan dengan perjuangan,cinta tanah air dan cita-citanya untuk masa depan.Pada kalimat :
“Kenang-kenanglah kami”
Adalah sebuah himbauan,ajakan,pengharapan pada kita untuk senantiasa tidak melupakan perjuangan dari para pendahulu kita,walaupun para pejuang tersebut telah gugur.
“Kerja belum selesai,belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa”
Pada kalimat diatas tersirat makna untuk bekerja keras,melanjutkan pekerjaan yang belum tuntas,mempunyai etos kerja yang pantang menyerah.
“Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian”
Pada kalimat diatas sangat tegas sekali pernyataan atau tujuan dari Sang Penyair yaitu supaya kita selalu konsisten dengan pernyataan kita,ucappan kita,janji-janji kita,sumpah kita dan semua yang pernah kita ucapkan dan pada kata “impian” mengandung makna suatu cita-cita.Kita harus punya impian yang sesuai dengan kondisi kita.Impian itu tidak lain adalah cita-cita bangsa kita.
  “Teruskan, teruskan jiwa kami”

  “Menjaga Bung Karno,menjaga Bung Hatta,menjaga Bung Sjahrir”
Pada kalimat diatas yaitu “Teruskan,teruskan jiwa kami.Menjaga Bung Karno,menjaga Bung Hatta,menjaga Bung Sjahrir” mengandung makna kesetian rakyat kepada para pemimpinnya.Pejuangan tidak akan berhasil,cita-cita tidak akan tercapai kalau tidak ada kesetiaan antara rakyat dengan pemimpinnya.

Tujuan dari Sang Penyair akan nampak jelas dengan sarana-sarana yang disebut dengan metode puisi dibawah ini yaitu :
1. Diction (diksi)
Diksi adalah pilihan atau pemilihan kata yang biasanya diusahakan oleh penyair dengan secermat mungkin. Penyair mencoba menyeleksi kata-kata baik kata yang bermakna denotatif maupun konotatif sehingga kata-kata yanag dipakainya benar-benar mendukung maksud puisinya.
Pilihan kata yang digunakan oleh Sang Penyair pada karya diatas “Krawang-Bekasi” sangat jelas dan lugas.
“Kami yang terbaring antara Krawang-Bekasi”
“Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi”
Pada kata “terbaring”mempunyai makna denotasi tidur terlentang,tetapi Sang Penyair menggunakan kata “Terbaring”yang mempunyai makna konotasi meninggal dunia,atau kematian.Akan tetapi kematian tersebut punya makna yang lebih mulia yaitu gugur sebagai pejuang.Hal itu dipertegas dengan pilihan kata pada kalimat berikutnya : “Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi” yang mempunyai makna sudah gugur di medan pertmpuran.
2. Imageri (imaji, daya bayang)
Yang dimaksud imageri adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan oleh penyair. Maka penyair menggunakan segenap kemampuan imajinasinya, kemampuan melihat dan merasakannya dalam membuat puisi.
Imaji disebut juga citraan, atau gambaran angan.

a. Pencitraan yang digunakan Sang Penyair pada Puisi diatas adalah Citra lingkungan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran selingkungan
Hal tersebut terdapat pada judul puisi itu sendiri “Krawang-Bekasi” dan “Kami bicara padamu dalam hening dimalam sepi” itu semua Citra lingkungan.
b. Citra kesedihan, yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran kesedihan.
Citra kesedihan ada pada kata “Kami sekarang mayat”,kesan yang timbul kalau kita dengar kata “Mayat” adalah suatu kesedihan.
c. Citra pendengaran, yaitu citraan yang timbul oleh pendengaran atau berhubungan dengan indra pendengaran .
Citra pendengaran ada pada kata “Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu”.Pada kata “bikin janji” dan “Aku sudah cukup lama dengan bicaramu” barkaitan dengan citra pendengaran.
d. Citra gerak, yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yanag sebetulnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak.
Citra gerak “Krawang-Bekasi” terlihat pada baris “Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlabuh”. ”Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh”.Disini digambarkan ada keinginan yang sama,kemauan yang sama,dan tujuan yang sama untuk mencapai suatu cita-cita sehingga digambarkan seperti kapal yang bergerak membawa penumpang mencapai tujuan yang sama.
e. Citra intelektual, yaitu citraan yang timbul oleh asosiasi intelektual/pemikiran.
Citra intelektual “Krawang-Bekasi” terlihat pada baris ketiga bait pertama :
“Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan mendegap hati?”
Pada kalimat tersebut dibutuhkan pemikiran untuk memahami kata-kata tersebut di atas terutama sebuah pertanyaan dari Sang Penyair “Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,terbayang kami maju dan mendegap hati?” .Apakah yang dimaksud dengan “deru kami” pada kalimat tersebut ?,lalu apakah yang dimaksud oleh Sang Penyair dengan “terbayang kami maju dan mendegap hati?”.Bisa jadi yang dimaksud dengan deru kami yaitu segala keinginan dan harapan dari Sang Penyair.Atau semua gejolak hati yang tidak dapat disampaikan lewat kata-kata oleh Sang Penyair.
1. The concrete word (kata-kata kongkret)
Yang dimaksud the concrete word adalah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama tetapi secara konotatif mempunyai arti yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pemakaiannya. Slamet Mulyana menyebutnya sebagai kata berjiwa, yaitu kata-kata yang telah dipergunakan oleh penyair, yang artinya tidak sama dengan kamus.
Pilihan kata yang di gunakan oleh Sang Penyair dalam karyanya : “Krawang-Bekasi” betul-betul bermakna dan berjiwa hal itu terlihat pada kalimat :
“Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi”
Kata “Terbaring” yang dimaksud oleh Sang Penyair tersebut bukanlah tidur terlentang diatas dipan atau lantai tetapi adalah sebuah “kematian"
2. Figurative language (gaya bahasa)
Adalah cara yang dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imaji dengan menggunakan gaya bahasa, perbandingan, kiasan, pelambangan dan sebagainya. Jenis-jenis gaya bahasa antara lain
Gaya bahasa yang digunakan dalam karya “Krawang-Bekasi” adalah “
Personifikasi,hal ituv terlihat pada “Kami sekarang mayat,Berikan kami arti” disini terlihat makna seakan-akan mayat yang secara sifatnya tidak dapat birbicara,tetapi oleh Sang Penyair “Mayat” tersebut dapat berbicara seperti manusia hidup dam berpesan “Berikan kami arti” dan seterusnya.
1.3   3. Rhythm dan rima (irama dan sajak)
Irama ialah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembutnya ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Pada puisi “Krawang-Bekasi” untuk Rhythm sangat jelas nampak ketika dibaca oleh seorang penyair karena berkaitan dengan turun naik,panjang pendek,keras lembutnya ucapan bunyi bahasa dengan teratur.
Rima adalah persamaam bunyi dalam puisi. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang mampu menciptakan suasana kegembiraan serta kesenangan. Bunyi semacam ini disebut euphony. Sebaliknya, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, yang membawa suasana kesedihan. Bunyi semacam ini disebut cacophony.
Pada puisi “Krawang-Bekasi” mempunyai berbagai jenis rima yaitu :
v Pada bait pertama terdapat rima sempurna dan bersajak {aaaa} hal itu terlihat pada persamaan bunyi di suku-suku kata akhir yaitu : persamaan huruf { i }
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
 Pada bait kedua terdapat rima aliterasi dan bersajak {ab-aa},disamping itu ada perulangan kata yaitu “Kami”
v
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
v Pada bait ke tiga terdapat rima terbuka dan bersajak {aa} antara suku”sa” dan “wa”sehingga menimbulkan kesan yang sangat mendalam.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
 Pada bait ke empat terdapat rima tertutup dan bersajak {bab}
v
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan 

KESIMPULAN :
Dari analisis diatas maka karya Chairil Anwar dengan judul “KRAWANG-BEKASI” adalah sebuah karya puisi yang bertemakan perjuangan sehingga Feeling (rasa) yang timbul sangat tegas,lugas tetapi sangat indah untuk dinikmati.Sedangkan sikap penyair terhadap pembaca adalah penuh harapan supaya perjuangan itu dilanjukan dan mempunyai nilai dan yang menilai arti perjuangan itu adalah generasi penerusnya. Tujuan dari Penyair pada karya tersebut adalah semangat perjuangan harus selalu mengelora meskibut berada di daerah yang dianggap kecil.Pilihan kata yang digunakan oleh Sang Penyair juga penuh dengan ketegasan,atau keterus terangan dari Sang Penyair.Image yang digunakan sangat beragam mulai dari citra kesedihan,lingkungan,gerak,intelektual dan sebagainya sehinggapembaca ikut hanyut dalam perasaan Sang Penyair.Pilihan kata yang digunakan Sang Penyair sangat berjiwa hal itu terlihat dari bait perbait yang saling berkaitan.

2.  STRUKTURAL
·         DIKSI
Pilihan kata yang digunakan oleh Sang Penyair pada karya diatas “Krawang-Bekasi” sangat jelas, lugas, juga penuh dengan ketegasan atau keterus terangan dari Sang Penyair. “Kami yang terbaring antara Krawang-Bekasi”, “Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi”. Pada kata “terbaring”mempunyai makna denotasi tidur terlentang, tetapi Sang Penyair menggunakan kata “Terbaring” yang mempunyai makna konotasi meninggal dunia,atau kematian. Akan tetapi kematian tersebut punya makna yang lebih mulia yaitu gugur sebagai pejuang. Hal itu dipertegas dengan pilihan kata pada kalimat berikutnya : “Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi” yang mempunyai makna sudah gugur di medan pertmpuran.
·      BAHASA KHIASAN
Personifikasi adalah majas kiasan yang menggambarkan benda-benda mati seolaholah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Personifikasi terdapat dalam sajak “Krawang-Bekasi”
·         CITRAAN
Citra lingkungan yaitu citraan yang menggunakan gambaran-gambaran selingkungan. Hal tersebut terdapat pada sajak “Krawang-Bekasi” karya Chairil Anwar”, yaitu terletak pada baris “Kami bicara padamu dalam hening dimalam sepi”. Dari kutipan bait tersebut merupakan citra lingkungan.
·         ANALISIS HERMEURISTIK
“Krawang-Bekasi” adalah sebuah kreasi puisi kemerdekaannya yang amat menyentuh perasaan sekaligus menggugah pikiran yang mengobarkan semangat juang dengan segala pengorbanannya. Sajak itu merupakan suara jiwa pahlawan dengan semangat kepahlawanannya yang gugur di medan laga. Semangat yang menggelorakan semangat para pejuang  demi membela dan mewujudkan kemerdekaan. Hal itu dapat dilihat dari kata : “Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi”. Kata “Merdeka” dan angkat senjata lagi mempunyai pengertian sebuah penjuangan untuk kebebasan mengatur negerinya sendiri. Salah satunya cara untuk mencapai cita-cita tersebut adalah dengan angkat senjata yaitu dengan jalan “Perang”. Pada kalimat lain nampak jelas kalau tema yang diangkat pada “Krawang-Bekasi” adalah sebuah perjuangan yaitu pada kalimat :” Teruskan, teruskan jiwa kami”, pada kalimat itu perjuangan harus dilanjukan meskipun banyak korban yang berjatuhan. Sedang yang dimaksud dengan “jiwa kami” adalah semangat dari para pendahulu yang telah gugur di medan perang supaya dapat dilanjutkan oleh generasi yang akan datang.

3.  SEMIOTIK
A.    Lapis Bunyi
Yang dimaksud  tone adalah sikap penyair terhadap pembaca atau penikmat karyanya pada umumnya. Terhadap pembaca, penyair bisa bersikap rendah hati, angkuh, persuatif, sugestif.Pada karya “Krawang-Bekasi” ini sikap penyair terhadap pembaca adalah “Rendah Hati” dan “Tegas”hal itu terlihat pada kata pengharapan yanga ada yaitu : “Kenang,kenanglah kami” “Kami sudah coba apa yang kami bisa” “Tapi kerja belum selesai,belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa” “Kami cuma tulang-tulang berserakan” “Tapi adalah kepunyaanmu” Pada bait diatas terlihat betapa Sang Penyair dengan kalimat pengaharap kepada pembacanya,penikmatnya,pemerhatinya menggunakan pilihan akhiran “lah” pada kata “kenanglah” dan rasa rendah hati itu dipertegas pada kalimat berikutnya yaitu : “Kami sudah coba apa yang kami bisa”.Pada kalimat tersebut dapat kita ketahui bahwa perjuangan itu penuh resiko tetapi Sang Penyair menyatakan bahwa ia sudah mencoba apa yang ia bisa walaupun  nyawa jadi taruhannya.Meskipun begitu tetapi  ia menyatakan apa yang dilakukan belum selesai,memang selamanya perjuangan itu akan berkelanjutan sampai hayat dikandung badan.Kalimat lain yang menyatakan merendah adalah :”Kami Cuma tulang-tulang yang berserakan.Tapi adalah kepunyaanmu”.Pada kalimat itu ada kata “Cuma” yang seakan-akan hal itu tidak berarti,karena dinyatakan sebagai tulang-tulang yang berserakan.Padalah tulang-tulang yang berserakan itu adalah tulang para pejuang yang telah mengorbankan diri untuk tanah air dan bangsa.
B.     Lapis Makna Atau Arti
Dilihat dari Sense karya Chairil Anwar dengan judul “Krawang-Bekasi” ini bertemakan perjuangan,sebuah tema yang identik dengan diri Sang Penyair,karena beliau hidup pada masa perjuangan yang penuh dengan heroisme dan beliau dikenal dengan pelopor angkatan’45.Banyak sekali karya beliau yang bertemakan perjuangan yang menjadi sepirit bagi para pemuda pada saat itu.Hal itu dapat dilihat dari kata : “Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi”.Kata “Merdeka” dan angkat senjata lagi mempunyai pengertian sebuah penjuangan untuk kebebasan mengatur negerinya sendiri.Salah satunya cara untuk mencapai cita-cita tersebut adalah dengan angkat senjata yaitu dengan jalan “Perang”.Pada kalimat lain nampak jelas kalau tema yang diangkat pada “Krawang-Bekasi” adalah sebuah perjuangan yaitu pada kalimat :” Teruskan, teruskan jiwa kami”,pada kalimat itu perjuangan harus dilanjukan meskipun banyak korban yang berjatuhan.Sedang yang dimaksud dengan “jiwa kami” adalah semangat dari para pendahulu yang telah gugur di medan perang supaya dapat dilanjutkan oleh generasi yang akan datang.                    
C.    Lapis Objek
Mayat-mayat para pahlawan menjadi objek di puisi ini .Mereka meninggala karena memeperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan dan dipuisi ini diamanatkan agar meneruskan perjuangan mereka.
D.    Lapis Dunia
Sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya. Setiap penyair mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi suatu persoalan. Sikap penyair dalam karya tersebut sangat tegas,lugas tanpa basa-basi dalam suatu perjuangan,hal itu dapat dilihat dari kata-kata :” Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa,”.                                              
E.     Lapis Metafisis
Pada kalimat tersebut terlihat bahwa sang penyair tidak mempunyai pamrih apa-apa dalam berjuang.Semua itu diserahkan oleh orang yang menilainya,yaitu jiwa mereka,semangat mereka itu dinilai untuk kemerdekaan,kemenangan,dan harapan atau tidak untuk apa-apa.Hal inilah yang kami katakan tidak mempunyai “Pamrih”apa-apa dalam perjuangan yang berkaitan dengan dirinya.Yang penting ia berjuang untuk mencapai kemerdekaan.


Senin, 09 April 2012

Contoh Kajian Teori Objektif, Struktural, Dan Simeotik Pada Puisi(Taman)

ganz, 10/04/2012

TAMAN
Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah

Taman kembangnya tak berpuluh warna

Padang rumputnya tak berbanding permadani

halus lembut dipijak kaki.

Bagi kita bukan halangan.

Karena

dalam taman punya berdua

Kau kembang, aku kumbang

aku kumbang, kau kembang.

Kecil, penuh surya taman kita

tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia

PEMBAHASAN
1. Objektif
1. Bunyi
Dalam “Taman” terdapat asonansi a yang dominan khususnya terdapat pada baris pertama hingga kelima:
Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan yang lain dalamnya
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Aliterasi bunyi liquida; l juga ikut memperindah puisi ini terdapat pada:
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan yang lain dalamnya
Juga terdapat aliterasi d tiga kali berturut-turut terdapat baris terakhir:
dari dunia dan ‘nusia
sedangkan dalam bait 11 penggunaan bunyi sengau yang dipadu-kan dengan asonansi menghasilkan bunyi yang merdu (efoni):
Kau kembang, aku kumbang
Hal ini memperkuat bahwa puisi ini menggambarkan suasana yang ceria.
2. Irama
Irama yang terdapat dalam “Taman” ini adalah dengan membuat perulangan:
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang.
Irama yang berbentuk ritme juga terbentuk karena adanya pengkombinasian yang selaras dan cocok: lebar luas (baris 2), halus lembut (baris 7); selain itu, ritme juga dibentuk dengan adanya pemendekan (pemenggalan) kata dari kata manusia menjadi ‘nusia. Dengan adanya irama ini, jelas puisi lebih terdengar merdu dan mudah untuk dibaca.
3. Kata
1. Kosa Kata
Pemilihan kata yang digunakan dalam “Taman” merupakan bahasa yang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga hal ini dapat memberi efek realistis, mudah diterima dan lebih mudah dicerna oleh pembaca.
2. Pemilihan Kata (diksi)
Mengapa Chairil memilih kata ‘punya’ dalam baris pertama, bukan menggunakan kata ‘milik’? jika menggunakan ‘milik’
tidak ada unsur satu kesatuan yang saling memiliki, karena yang memiliki hanya kita, kita yang memiliki taman. Sedangkan jika menggunkan kata ‘punya’ akan menjadi lebih menyatu antara ‘taman’ dengan ‘kita’, karena selain berarti ‘kita’ yang mempunyai ‘taman’ namun juga ‘taman’ yang ‘punya’ (memiliki) ‘kita berdua’.
Pemilihan kata “padang rumput” padahl sudah dikatan bahwa ‘tamannya’ ‘kecil saja’ tapi mengapa digunakan kata ‘padang’ yang dimana hal ini secara tidak langsung menunjukkan tempat yang luas. Hal ini kaena Sang “Binatang Jalang” ingin menunjukkan ‘rumput’ yang dimaksud adalah rumput hiasan yang merupakan bagian dari tamannya, bukan rumput liar pengganggu (gulma).
3. Makna Denotasi dan Konotasi
Dalam puisi, sebuah kata tidak hanya mengandung aspek denotasi saja namun juga ada aspek konotasi yang asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya.
Taman: adalah suatu tempat yang indah yang dihiasi dengan tumbuhan, namun dalam hal ini mempunyai makna konotasi sebagai ‘rumah’.
Tak kehilangan: saling melengkapi, antara yang satu dengan yang lain saling melengkapi antar penghuni didalamnya.
Kembangnya tak berpuluh warna: hiasan/perabotan tidak banyak.
Kau Kembang: kembang disini tidak lagi berarti hiasan namun berarti Istri karena dilanjutkan dengan kata selanjutanya;
Aku Kumbang: kumbang disini bisa berarti suami, jelas jika bahwa kembang adalah sang wanita dan kumbang adalah sang pria yang saling membutuhkan.
Penuh Surya: penuh dengan cahaya yang berarti penuh dengan keceriaan.
Merenggut: meninggalkan.
 4. Gaya Bahasa (Majas)
  *  Metafora:
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang
dalam sajak itu, ‘Kau’ disamakan dengan kembang (bunga) sedangkan ‘aku’ disamakan dengan kumbang.
*Sinekdoke totem pro parte:
Kecil penuh surya taman kita
Yang dimaksud dengan surya sebenarnya hanyalah cahayanya saja, bukan surya atau mataharinya yang memenuhi rumah.
        *Metonimia:
Tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia
Dunia dan manusia diartikan sebagai kesibukan yang harus dijalani.
5. Pencitraan
       *Citra penglihatan
tak lebar luas, kecil saja
Taman kembangnya tak berpuluh warna
 *Citra perabaan:
Halus lembut dipijak kaki

2. Struktural
1.         Diksi
Pilihan kata yang digunakan dalam puisi “Taman” ini sangat lugas dan berterung terang dalam kejujuran walau tak mengesampingkan penggunaan kata yang bermakna konotasi di dalamnya.
Penggambaran diri penyair dengan pasangannya, yang ditegaskan dengan kata-kata yang ringan namun dalam.
2.         Bahasa Khiasan
Ini berkaitan erat dengan diksi. Memang, penggambarannya secara lugas dan berterus terang namun tak dapat dipungkiri akan adanya penggunaan kata bermakna konotasi yang semakin menegaskan keindahan serta unsur sastra dalam puisi ini
3.         Citraan
Puisi ini memfokuskan keadaan dalam suatu “lingkungan” yang digambarkan sebagai taman oeh penyair yang tentu saja memiliki suatu maksud tempat itu sendiri. Tempat itu menjadi titik tolak kebersamaan antara penyair dan orang yang digambarkan penyair berada bersama-sama dengannya dalam suatu lingkungan itu. Penggambaran akan kebersamaan berdua, di tempat yang sesuai dengan konsep pikiran penyair itu sendiri, sebagai suatu tempat yang tak luas, tapi cukup untuk bersama dan saling melengkapi
4.         Analisis Hermeuristik
Puisi ini menunjukkan ungkapan kebahagiaan hati dari peyair yang ditumpahkan lewat goresan tangan. Bertujuan untuk menyentuh setiap hati dari orang yang mendengar ataupun membaca puisi ini. Lewat keromantisan tulisan, diharapkan akan hadirnya sentuhan imajinasi terhadap apa yang disajikan penyair.

3. Semiotik
1.   Lapis Bunyi
Yang dimaksud adalah bagaimana bunyi yang digambarkan penyair terhadap pembaca atau pendengar lewat puisi karyanya. Dalam puisi ini, penyair menggambarkan situasi romantic dan penuh penghayatan terhadap situasi serta lingkungan yang tengah dihadapinya.
2.    Lapis makna atau arti
Puisi ini sarat dengan makna cinta yang dalam serta keinginan untuk menyatukan kebahagiaan di suatu tempat dala hal ini “taman” yang digambarkan oleh penyair.
3.    Lapis Objek
Yang dijadikan objek dalam puisi ini adalah penyair itu sendiri dan pasangannya yang ia gambarkan dalam puisi ini sebagai kembang dan kumbang
4.    Lapis Dunia
Sikap penyair terhadap pokok persoalan atau inti yang digambarkan penyair itu sendiri dalam puisinya. Dalam hal ini penyair mengangkat tentang cinta yang mendunia namun tetap dengan ciri khasnya dan dengan kebahagiaan menurut caranya sendiri
5.    Lapis Metafisis
Pada kalimat-kalimatdalam puisi terlihat penyair tidak memaksakan atau menuntut suatu keadaan tertentu melainkan hanya menggambarkan  apa yang berada dalam pikiran penyair itu sendiri

Minggu, 08 April 2012

Pengertian Teori Simeotik

 ganz 08/04/2012
TEORI SEMIOTIKA

1. Pengertian menurut para ahli:
1). Ferdinand De Saussure.
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).
2). Roland Barthes.
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006). Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006). Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah ‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar manjur di hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.
3).  J. Derrida.
Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas. Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya. Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa. Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.
4). Umberto Eco. Stephen W. Littlejohn (1996)
Mereka menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006). Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.
5). Ogden & Richard.
Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan teori semiotika trikotomi yang dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori Barthes yang didalamnya terdapat perkembangan hubungan antara Petanda (signified) dengan Penanda (signifier) dimana Penanda kemudian dibagi menjadi dua yaitu Peranti (Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier) itu sendiri. Petanda merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti merupakan Denotasi dari Penanda. Pada teori ini Petanda merupakan makna, konsep, gagasan, sedang Penanda merupakan gambaran yang menjelaskan peranti, penjelasan fisik obyek benda, kondisi obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak selalu) berupa ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan volume yang memiliki suprasegmen tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud obyek/benda/fungsi aktual (Christian).
6). C.S Peirce.
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek.Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.

MODEL-MODEL
 Semiotik (semiotic) adalah teori tentang pemberian ‘tanda’. Secara garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik (semiotic pragmatic), semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan semiotik semantic (semiotic semantic) (Wikipedia,2007).

1. Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic) menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.
2. Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic) menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan ‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik Sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan. Dalam arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya, hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas.
3. Semiotik Semantik (semiotic semantic) menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ‘arti’ yang disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’ yang ingin disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya.

Pengertian Dan Sejarah Teori Strukturalisme

ganz 08/04/2012
TEORI STRUKTURALISME

1. Pengertian
     Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya di dalam relasi, baik relasi asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi, ataupun kontras dan parodi (Hartoko, 1986: 135-136).

        Istilah kritik strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik sastra yang mendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern. tetapi umumnya strukturalisme mengacu kepada sekelompok penulis di Paris yang menerapkan metode dan istilah-istilah analisis yang dikembangkan oleh Ferdinan de Saussure (Abrams, 1981: 188-190). Strukturalisme menentang teori mimetik, yang berpandangan bahwa karya sastra adalah ( tiruan kenyataan), teori ekspresif, yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang, dan menentang teori-teori yang menganggap sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.

Menurut Para Ahli:
1). Ferdinand de Saussure
Meletakkan dasar bagi linguistik modem melalui mazhab yang didirikannya, yaitu mazhab Jenewa. Menurut Saussure prinsip dasar linguistik adalah adanya perbedaan yang jelas antara signifiant (bentuk, tanda, lambang) dan signifie (yang ditandakan), antara parole (tuturan) dan langue (bahasa), dan antara sinkronis dan diakronis. Dengan klasifikasi yang tegas dan jelas ini ilmu bahasa dimungkinkan berkembang menjadi ilmu yang otonom, di mana fenomena bahasa dapat dijelaskan dan dianalisis tanpa mendasarkan dirt atas apa pun yang letaknya di luar bahasa. Saussure membawa perputaran perspektif yang radikal dart pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Sistem dan metode linguistik mulai berkembang secara ilmiah dan menghasilkan teori-teori yang segera dapat diterima secara luas. Keberhasilan studi linguistik kemudian diikuti oleh berbagai cabang ilmu lain seperti antropologi, filsafat, psikoanalisis, puisi, dan analisis cerita.

2). Jan Mukarovsky
Memperkenalkan konsep kembar artefakta-objek-estetik. Sastra dianggap sebagai sebuah fakta semiotik yang tetap. Teks-teks sastra dianggap sebagai suatu tanda majemuk dalam konteks luas yang meliputi sistem-sistem sastra dan sosial.

3). Sklovsky
Mengembangkan konsep otomatisasi dan deotomatisasi, yang serupa dengan konsep Roman Jakobson tentang familiarisasi dan defamiliarisasi. Dasar anggapan mereka adalah bahwa bahasa sastra sering kali memunculkan gaya yang berbeda dari gaya bahasa sehari-hari maupun gaya bahasa ilmiah. Struktur bahasa ini pun sering kali menghadirkan berbagai pola yang menyimpang dan tidak biasa.

4). Roland Barthes dan Julia Kristeva (Strukturalisme Perancis)
Mengambangkan seni penafsiran struktural berdasarkan kode-kode bahasa teks sastra. Melalui kode bahasa itu, diungkapkan kode-kode retorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka menekankan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipandang secara otonom. Puisi khususnya dan sastra umumnya harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrinsiknya). Keindahan sastra terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek estetik. Aspek-aspek ekstrinsik seperti ideologi, moral, sosiokultural, psikologi, dan agama tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.

2. Sejarah
          Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup panjang dan berkembang secara dinamis. Dalam perkembangan itu terdapat banyak konsep dan istilah yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan. Misalnya, strukturalisme di Perancis tidak memiliki kaftan erat dengan strukturalisme ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di Amerika. Akan tetapi semua pemikiran strukturalisme dapat dipersatukan dengan adanya pembaruan dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Jadi walaupun terdapat banyak perbedaan antara pemikir-pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah bahwa mereka semua memiliki kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar linguistik Saussure (Bertens, 1985: 379-381).

        Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu. Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu;
1. Kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
2. Pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3. Kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real atau nyata.
          Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapan-harapan kita, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon harapan kita.
          Konsep Teori strukturalisme murni yang paling pokok ditunjukan ialah peranan unsur-unsur dalam pembentuk totalitas, kaitannya secara fungsional diantara unsur-unsur tersebut, sehingga totalitas tidak dengan sendirinya sama dengan jumlah unsur -unsurnya.
Menurut Jean Peagnet ada tiga dasar konsep strukturalisme:
1.Unsur kesatuaan sebagai koherensi internal dan pembentuk totalitas
2.Transformasi sebagai bentuk bahan-bahan baru secara terus menerus dan terjadinya saling keterkaitan antar unsur tadi
3.Regulasi diri (self regulating) yakni mengadakan perubahan kekuaatan dari dalam dan unsur-unsur tadi saling mengatur dirinya sendiri.
          Prosedur (metode) teori yang digunakan adalah metode struktural yakni suatu metode yang cara kerjanya membongkar secara struktural unsur-unsur interistik karya sastra yang meliputi didalamnya kebulatan makna, diksi, rima, struktur kalimat, tema, plot, setting, karakter, dan lainnya. Dalam unsu-unsur yang dipaparkan tadi berperan sebagai pembentuk totalitas, selanjutnya terjadi saling keterkaitan antar unsur tadi (transformatif) dan terakhir regurasi diri (self regulating) yakni unsure-unsur tadi saling mengatur dirinya sendiri.
         Asumsi karya sastra berdasarkan teori strukturalisme murni karya satra di pandang dari aspek dalamnya saja yakni konsep bentuk dan isinya saja. Sebagaimana yang di kemukakan oleh Ferdinand de Sausere yang intinya berkaitan dengan konsep Sign dan Meaning (bentuk dan isi) atau seperti yang dikemukakan oleh Luxemburg sebagai signifiant-signifei dan paradigm-syntagma. Pengertiaannya adalah tanda atau bentuk bahasa merupakan unsur pemberi arti dan yang di artikan. Dari dua unsur itulah ditemukan sebuah realitas yang saling berkaitan. Karena itu untuk memberi makna yang tertuang dalam karya sastra, penela’ah harus bisa mencarinya berdasarkan telaah struktur yang dalam hal ini terrefleksi melalui unsur bahasa.

Kelebihan dari teori strukturalisme murni adalah sebagai berikut:
1. Teori stukturalisme murni hampir seluruh bidang kehidupan manusia baik itu dalam laju perkembangan IPTEK, dalam menunjang sarana pra sarana penelitian secara global, dan dalam bidang sastra memicu berkembangnya genre sastra dan lainnya.
2. Menumbuhkan prinsif antarhubungan baik itu hubungan masyarakat dengan sastra,, minat mayarakat terhadap penelitaan inter disipliner, memberi pengaruh terhadap berkembangnya teori sastra.
3. Dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman yang maksimal.

Kekurangan ataupun kelemahan dari teori strukturalisme murni ini disebabkan karena teori ini hanya menekankan otonomi dan prinsif objektifitas pada struktur karya sastra yang memiliki beberapa kelemahan pokok ialah sebagai berikut:
1. Karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya sehingga sastra kehilangan relevensi sosialnya, tercabutnya dari sejarah, dan terpisah dari permasalahan manusia.
2. Mengabaikan pengarang (penulis) sebagai pemberi makna dalam penafsiran terhadap karya sastra. Ini sangat krusial sekali dan berbahaya karena penafsiran tersebut akan mengorbankan cirri khas kepribadian, cita-cita dan juga norma-norma yang di pegang teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur sosial tertentu.
3. Otomatis keobjektifitasannya akan diragukan lagi karena memberi kemungkinan lebih besar terhadap campur tangan pembaca didalam penafsiran karya sastra tersebut.
4. Karya sastra tidak dapat diteliti lagi dalam rangka konvensi-konvnsi kesusastraan sehingga pemahaman kita terhadap terhadap genre dan system sastra sangat terbas sekali.

Pengertian Dan Sejarah Teori Objektif

ganz 08/04/2012
TEORI OBJEKTIF

1. Pengertian
Teori objektif merupakan teori sastra yang memandang karya sastra sebagai dunia otonom, sebuah dunia yang dapat melepaskan diri dari siapa pengarangnya, dan lingkungan sosial budayanya. Karya sastra harus dilihat sebagai objek yang mandiri dan menonjolkan karya sastra sebagai struktur verbal yang otonom dengan koherensi intern. Dalam teori ini terjalin secara jelas antara konsep-konsep kebahasaan (linguistik) dengan pengkajian karya sastra itu sendiri, baik secara metaforis maupun secara elektis. Istilah lain dari teori objektif adalah teori struktural.

Menurut Para Ahli:
1.) Aristoteles
Telah diperkenalkan oleh Aristoteles dengan konsep wholeness, unity, complexity, dan coherence. Suatu penilaian dikatakan objektif bila penilaian itu bertolak dari suatu nilai atau konvensi yang terlepas dari segi pembaca. Sehingga, nilai itu adalah nilai yang ada dalam teks sastra, dan bukan nilai yang ada dalam opini pembaca itu sendiri.
2).Taine
Menurut Taine, sastra tidak hanya sekedar karya yang bersifat imajinatif dan pribadi, melainkan dapat pula merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan.
3.) Jacobson
Jacabson merumuskan bahwa karya sastra adalah ungkapan yang terarah pada ragam yang melahirkannya atau fungsi puitik memusatkan perhatiannya pada pesan dan demi pesan itu sendiri.
4). Ferdinand de Saussure
Pendekatan struktur secara langsung atau tidak langsung sebenarnya banyak dipengaruhi oleh konsep struktur linguistik yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, yang intinya berkaitan dengan konsep sign dan meaning (bentuk dan isi).
5). Luxemburg
Luxemburg memiliki konsep signifiant- signified dan paradigma- syntagma. Pengertiannya adalah tanda atau bentuk bahasa merupakan unsure pemberi arti dan yang diartikan. Dari dua unsur itulah akan dapat dinyatakan sesuatu yang berhubungan dengan realitas. Karena itu, untuk memberi makna atau memahami makna yang tertuang dalam karya sastra, penelaah harus mencarinya berdasarkan telaah struktur, yang dalam hal ini terefleksi melalui unsure bahasa.
6). Terry Eagleton
Mengungkapkan bahwa setiap unit dari struktur yang ada, hanya akan bermakna jika dikaitkan hubungannya dengan struktur lainnya. Hubungan tersebut bisa merupakan hubungan pararelisme, pertentangan, inversi, dan kesetaraan. Yang terpenting adalah bagaimana fungsi hubungan tersebut dalam menghadirkan makna secara keseluruhan.

2. Sejarah
       Teori objektif yang di dalamnya terdapat pendekatan struktur (pendekatan objektif= strukturalisme), tidaklah dapat dilepaskan dari peran kaum Formalis. Pendekatan struktur itu sendiri sebenarnya sejak jaman Yunani sudah dikenalkan oleh Aristoteles dengan konsep wholeness, unity, complexity, dan coherence.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa mencuatnya pendekatan struktur tidaklah lepas dari peranan kaum Formalis. Maka, kaum Formalis dipandang sebagai peletak dasar telaah sastra dengan pendekatan ilmu modern. Ciri khas penelitian sastra kaum Formalisme ialah penelitiannya terhadap apa yang merupakan sesuatu yang khas dalam karya sastra yang terdapat dalam teks bersangkutan. Ciri khas penelitiannya terhadap apa yang merupakan sesuatu yang khas dalam karya sastra yang terdapat dalam teks bersangkutan. 

          Dalam hal ini, nilai estetik suatu karya sastra seperti yang dikemukakan oleh tokoh utamanya Jacobson, adalah didasarkan pada poetic function yang diolah berdasarkan kode metrum, rima, macam-macam bentuk paralelisme, pertentangan, kiasan, dan sebagainya. Dengan kata lain, Jacobson merumuskan bahwa karya sastra adalah ungkapan yang terarah pada ragam yang melahirkannya atau fungsi puitik memusatkan perhatiannya pada pesan dan demi pesan itu sendiri.

       Dalam hal ini, karya sastra harus dipandang sebagai sebuah struktur yang berfungsi. Sebagai sebuah karya yang bersifat imajinatif, bisa saja hubungan penanda dan petanda merupakan suatu hubungan yang kompleks. Dalam karya yang lebih luas, misalnya saja novel, stuktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, seting, point of view, dan lainnya. Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka unsur-unsur tersebut harus dihubungkan satu sama lain. Apakah struktur tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh, saling mengikat, saling menopang yang kesemuanya memberikan nilai kesastraan tinggi. Telaah semacam inilah yang ditekankan oleh kaum strukturalisme.