Sabtu, 07 April 2012

Pendekatan Ekspresif Dalam Menkaji Karya Sastra(novel/cerpen)

ganz/07/04/2012


A.    Pengertian Pendekatan Ekpresif
Pendekatan ekspresif adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajak emosi atau perasaan pembaca (Aminuddin, 1987:42). Sedangkan menurut Semi (1984), pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menitikberatkan perhatian kepada upaya pengarang atau penyair mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra. Pendekatan ekspresif disebut juga pendekatan emotif. Di dalam pendekatan ekspesif, pengarang atau penyair berupaya mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra, sehingga menarik emosi atau perasaan pembaca. Cara yang digunakan pengarang dalam mengekspresikan ide-idenya melalui gaya (style pengarang).
Gaya merupakan cara yang digunakan pengarang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapai (Aminuddin,1945:V)
Gaya (style pengarang) dapat dilihat dari:
1. Bunyi
Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsure puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya: lagu, melodi, irama, dsb. Bunyi disamping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dsb (Pradopo, 1987:22).
Menurut teori simbolisme (Slametmuljana,1956:57) tiap kata itu menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yan_ sebenarnya. Hal ini dapat diusahakan dengan gaya bahasa. Jalannya ialah mengarahkan puisi sedekat-dekatnya kepada rasa saja. Apapun yang dapat ditangkap panca indera ini hanyalah lambang atau bayangan kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan sebenarnya ini tidak dapat ditangkap panca indera. Barang-barang ini hanya dapat memberi saran kepada kita tentang kenyataan yang sebenarnya.
Contoh puisi:
LAGU PEKERJA MALAM SEPISAUPI
Goenawan M Sutardji
Lagu pekerja malam sepisau luka sepisau duri
Di sayup-sayup embun sepikul dosa sepikau sepi
Antara dynamo menderam sepisau luka sepisau diri
Pantun demi pantun sepisau sepi sepia nyanyi
Lagu pekerja malam sepisaupa sepisaupi
Lagu padat damai sepisapanya sepikau sepi
Lagu tak terucapkan sepisaupa sepisaupi
Jika dukapun usai sepikul diri keranjang duri
Pada puisi Goenawan, LAGU PEKERJA MALAM, menggunakan pola bunyi sebagaimana terdapat di pantun. Hal itu dapat ditemukan antara lain pada panduan bunyi /m/ pada larik lagu pekerja malam, dengan /m/ antara dynamo menderam, dan paduan bunyi /n/ pada larik di sayup-sayup embun dengan /n/ pada larik pantun demi pantun. Goenawan dalam puisi tersebut memang seperti sedang berpantun dan pantun itu mempengaruhi cirri puisi “Lagu Pekerja Malam”. Akan tetapi, pengaruh tersebut tidak mengubah karakteristik teks itu sebagai puisi. Goenawan Muhamad dalam puisinya tersebut mengisahkan para pekerja malam dengan bahasa yang tidak banyak kiasannya. Sedangkan puisi “Sepisaupi”, Sutardji memang bebas memainkan kata-kata. Sutardji memang dalam penciptaan puisinya, membiarkan kata-kata bebas (Waluyo,1987:290). Sutardji dalam puisinya “Sepisaupi” mengembalikan kata-kata pada mantra.
2. Irama
Irama dalam bahasa adalah pargantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Secara umum dapat disimpulkan bahwa irama itu pergantian berturut-turut secara teratur.
Dalam puisi timbulnya irama karena perulangan bunyi berturut-turut dan bervariasi, misalnya sajak akhir, asonansi, dan aliterasi. Begitu juga karena adanya paralelisme-paralelisme, ulangan-ulangan kata, ulangan-ulangan bait. Juga disebabkan oleh tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemah, disebabkan oleh sifat-sifat konsonan dan vokalnya atau panjang pendek kata.
Sesungguhnya, irama itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu metrum dan ritme. Metrum ialah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang sudah tetap dan tekanannya yang tetap hingga alun suara yang menaik dan menurun itu tetap saja. Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya.
Dalam puisi Indonesia, puisi dengan metrum tertentu dapat dikatakan tidak ada. Kalau ada metrum itu bersifat individual, artinya metrum-metrum itu buatan penyair-penyair pribadi yang saling berbeda, tanpa aturan dan patokan tertentu. Yang terasa seperti mempunyai metrum ialah syair dan pantun. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang agak tetap dalam tiap baris baitnya dan oleh pola persajakan (tengah atau akhir) yang tetap
Contoh puisi dalam memahami irama, yaitu sajak Sutardji Calzoum Bachri.
MARI
Mari pecahkan botol-botol
Ambil lukanya
Jadikan bunga
Mari pecahkan tik-tok jam
Ambil jarumnya
Jadikan diam
Mari pecahkan pelita
Ambil apinya
Jadikan terang
3. Diksi
Kata-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa sehingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imajinasi estetik, maka hasilnya disebut diksipuitis (Barfield,1952:41). Jadi, diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan dan mendapatkan nilai estetik.
Untuk ketepatan diksi seringkali penyair menggantikan kata yang dipergunakan berkali-kali, yang dirasa belum tepat, bahkan meskipun sajaknya telah disiarkan (dimuat dalam majalah), sering masih juga diubah kata-katanya untuk ketepatan dan kepadatannya. Bahkan ada baris/kalimat yang diubah susunannya atau dihilangkan. Misalnya Chairil Anwar, begitu cermat ia memilih kata-kata dan kalimatnya.
Semangat Aku
Kalau sampai waktuku kalau sampai waktuku
‘Ku tahu tak seorang kan merayu ‘Ku mau tak seorang kan merayu
tidak juga kau tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu! Tak perlu sedu sedan itu
Chairil Anwar mengganti kata “semangat” menjadi “aku” karena kata semangat itu terkandung arti perasaan yang menyala-nyala,dan terasa ada sifat propagandis ataupun rasa yang bombastis, berlebih-lebihan, semangat-semangatan. Sedangkan dalam kata aku itu, terkandung perasaan yang mnunjukkan kepribadian penyair dan semangat individualistisnya. Adapun judul Semangat itu sesungguhnya dulu untuk mengelabuhi sensor yang keras pada zaman Jepang sehingga dengan kata yang berbau propagandis atau sloganis itu, sajak yang sesungguhnya individualistis yang terlarang di zaman Jepang itu, dapat lulus dari sensor. Sedangkan kata Ku tahu ini menunjukkan iperasaan pesimistis, rasa keterpencilan. Bila sajak itu dideklamasikan, maka nadanya rendah dan melankolik. Hal ini tidak sesuai dengan bait-bat selanjutnya yang penuh semangat dan rasa vitalitas yang menyala. Maka dirasa kata itu tidak tepat dan diganti oleh penyair dengan kata Ku mau yang lebih menunjukkan kemauan pribadi yang kuat.
4. Citraan
Dalam puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan serta untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran). Gambaran-gambaran angan dalam sajak disebut citraan (imagery). Citraan ini ialah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya (Altenbernd,1970:12). Sedang setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji (image).
 Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai (gambaran) yang dihasilkan oleh pengungkapan kita terhadap sebuah objek yang dapat dilihat oleh mata, syaraf penglihatan, dan daerah-daerah otak yang berhubungan.
Gambaran-gambaran angan itu ada bermacam-macam, diantaranya sebagai berikut:
1.      Citra Penglihatan (visual)
Citra penglihatan memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering hal-hal yang tidak terlihat jadi seolah-olah terlihat. Misalnya, bisa kita lihat dalam sajak W.S Rendra berikut ini
Ruang diributi jerit dada
Sambal tomat pada mata
Meleleh air racun dosa
2.      Citra Pendengaran (auditory amagery)
Penyair yang banyak menggunakan citraan ini disebut penyair auditif, misalnya Toto S. Bachtiar
Jenis suara peri mengiang
Hanya lagu orang-orang malang
Dalam pengembaraan di bawah bintang
Mengalir dari tiap sempat celah jendela
3. Citra Perabaan
Puisi Subagio Sastrawardojo: Salju
Kukumu tajam, pacar
Tikamkan dalam-dalam ke kulitku
Biar titik darah
Dan terasa sakit
4. Citra Penciuman
Puisi W.S Rendra
NYANYIAN SUTO UNTUK FATIMAH
Dua puluh tiga matahari
Bangkit dari pundakmu
Tubuhmu menguapkan bau tanah
5. Citra Pengecapan
Puisi Rendra
Ia makan hati dan isi hati
Pada mulut terkunyah duka
6. Citra Gerak (movement atau kinaesthetic imagery)
SENJA DI PELABUHAN KECIL
gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini, tanah, air tidur, hilang ombak.
5. Majas
Di kajian puisi, majas dibagi menjadi lima macam seperti di bawah ini.
1. Metafora
Dalam puisi modern banyak kita jumpai metafora yang konvensional. Dalam “Surat Cinta”, Rendra mengiaskan diri kekasihnya sebagai putri duyung.
Engkaulah putri  duyung/ tawananku/ putri duyung dengan suara merdu/ lembut bagi angin laut/ mendesahkan bagiku.
2.      Perbandingan
Perbandingan dapat dikatakan bahasa kiasan yang paling sederhana dan paling banyak dipergunakan dalam sajak. Contohnya adalah puisi karya Subagio Sastrowardoyo
Tetapi istriku terus berbiak/ seperti rumput di pekarangan mereka/ seperti lumut ditembok mereka/ seperti cendawan di roti mereka/ sebab bumi hitam milik mereka
3. Personifikasi
Dalam “Gadis Peminta-minta”, Toto Sudarto Bachtiar menulis personifikasi sebagai berikut:
Kotaku jadi hilang tanpa jiwa/ bulan di atas itu tak ada yang punya/ kotaku hidupnya tak lagi punya tanda.
4. Metonimia
Salah satu contoh yang menggunakan sajak yang menggunakan metonimia adalah sajak Toto Sudarto Bachtiar dalam “Ibu Kota Senja”
Klakson dan lonceng bunyi bergiliran/ dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan/ di bawah bayangan istana kejang/ o, kota kekasih setelah senja
5. Alegori
Sajak Sanusi Pane “Teratai” menyimbulkan Ki Hajar Dewantara yang menjaga bumi Indonesia dengan ajarannya yang bersifat kebangsaan, dengan semangat keindonesiaan asli.
Dalam kebun tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai;
Tersembunyi kembang indah permai.
Tidak terlihat orang yang lalu.
Akarnya tumbuh di hati dunia,
Daun bersemi Laksmi mengarang
Biarpun ia diabaikan orang,
Serodja kembang gemilang mulia.
Teruslah, o teratai bahagia
Berseri di kebun Indonesia
6. Gaya Bahasa
Cara menyampaikan pikiran atau perasaan ataupun maksud-maksud lain menimbulkan gaya bahasa. Gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca (Slametmuljana,Tt:20).
Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa itu untuk menimbulkan reaksi tertentu serta menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca.
Sajak-sajak angkatan 45 banyak menggunakan sarana retorika hiperbola. Misalnya sajak Chairil Anwar berikut.
KEPADA PEMINTA-MINTA
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga.
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau datang
Sembarang kau merebah.
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Dibibirku terasa pedas
Mengaung ditelingaku.
….
(1959:17)
7. Tipografi
Tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak membangun paragraf, namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermila dari tepi kiri dan berakhir ke tepi kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan baris dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan, hal mana tidak berlaku bagi tulisan yang berbentuk prosa. Ciri yang demikian menunjukkan eksistensi puisi.
Dalam puisinya “Kuncup”, J.E.Tatengkeng menyusun tipografi yang agak berbeda dari puisi biasa.
KUNCUP
Terlipat Melambai
Terikat, melambai
Engkau mencari engkau beringin
Terang matahari digerak angin
Terhibur
Terlipur
Engkau bermalam
Di pinggir kolam
W.S Rendra 

LANGKAH-LANGKAH DALAM MENGAPLIKASIKAN PENDEKATAN EKSPRESIF
Berikut ini merupakan langkah-langkah dalam mengapresiasi puisi dengan menggunakan pendekatan ekspresif.
1.      Menentukan puisi yang akan diapresiasi
Puisi yang akan diapresiasi ditentukan berdasarkan keinginan dan pengetahuan yang kita miliki.
2.       Membaca puisi tersebut secara berulang-ulang dan menghayatinya
Dengan membaca puisi secara berulang-ulang pembaca akan dapat memahami dan menghayati makna puisi.
3.       Mengapresiasi puisi dan menemukan keindahannya
Dalam mengapresiasi puisi dan menemukan keindahannya, pembaca akan menggunakan pengetahuannya yang berhubungan dengan apresiasi puisi secara ekspresif. Pembaca menandai bagian puisi yang dianggap terdapat keindahan di dalamnya.
4.  Mencatat hasil akhir apresiasi puisi berupa simpulan
Hasil dari langkah ketiga ditulis dalam bentuk simpulan, yang di dalamnya harus sesuai dengan analisis pada langkah ketiga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar