Cerpen:
Menurut saya, tindakan dan keputusan yang diambil dan dilakukan oleh Sintawati adalah hal yang salah dan tidak terpuji.Sebagai menjadi bagai wanita, pemahaman terhadap perasaan sesama wanitanya kurang.Ia akhirnya mempermalukan diri dengan menjadi selingkuhan seorang aparat pemerintahan.Namun satu poin penting adalah keberanian Sinawati dalam mengambil resiko.
Mahadi dan Teh Manis Hangat
Oleh Bembi Cahyadi
(Kompas, 25 Juli 2010)
Kerap
tanpa disadari olehnya, Mahadi selalu merasa miskin.Miskin untuk ukuran Mahadi,
tidak punya uang.Kalau ingin membeli sesuatu harus utang dulu
sana-sini.Termasuk membeli kebutuhan hidup untuk anak dan istrinya. Padahal, ia
bukanlah pengangguran. Mahadi seorang pegawai honorer di Kantor Pemda.
Memang,
jabatannya tergolong rendah. Hanya semacam tukang antar surat dan pesuruh yang
bertugas melakukan pekerjaan serabutan di kantor pemerintahan itu. Seperti
menyapu lantai lantas mengepelnya. Menyapu halaman kantor dan merawat
tanamannya. Mengganti lampu yang mati.Membetulkan genteng yang bocor dan
pekerjaan-pekerjaan rendahan lainnya.Ya, uang gajinya memang sangat kecil,
meski sudah memenuhi syarat upah minimum provinsi setelah dipotong kas bon
sana-sini.
Dari
hasil kerja serabutan di kantor, Mahadi terkadang mendapat uang tip dari
atasannya atau orang yang menyuruhnya. Lumayan, seribu-duaribu perak, sangat
cukup untuk menyambung hidupnya selama sehari.Karena, gajinya yang kecil itu,
sudah diserahkan semua kepada istrinya setiap tanggal gajian.Tak ada sisa
untuknya, kecuali untuk transportasi.Mahadi maklum, karena kelima anaknya lebih
penting dari dirinya.
Mahadi
yang miskin. Begitulah, yang kerap iaucapkan pada dirinya sendiri.
“Betapa
sulit hidup di negeri yang harga sembakonya selalu melambung tinggi,” gerutu
Mahadi, sambil mengambil sapu lidi besar bergagang panjang dan segera menyapu
pekarangan kantor kabupaten. Ia sering membayangkan dirinya menjadi orang kaya.
Seperti Pak Bupati, misalnya.
Betapa
senangnya menjadi orang kaya.Punya banyak uang, mau beli ini-itu tinggal
merogoh kocek lalu keinginan dan kebutuhan terpenuhi. Mahadi tersenyum-senyum
sendiri membayangkan dirinya punya banyak duit, sembari dengan terampil
tangannya memegang tangkai sapu lidi menyapu halaman kantor yang kotor. Dengan
telaten ia terus menyapu sampah-sampah dan dedaunan kering yang mengotori
halaman kantor.
Begitulah
Mahadi, walaupun hidup terasa begitu sulit dengan beban ekonomi yang menghimpit
akibat kekurangan uang, ia tetap bekerja giat tanpa terlihat bermalas-malasan.
Mahadi tidak seperti lulusan sekolah menengah umum zaman sekarang, yang tak
sudi bekerja keras, hanya karena upah yang diterimanya tak bisa membeli pulsa
handphone.
“Seandainya
daun-daun kering itu berubah menjadi lembaran uang. Ah, betapa nikmatnya hidup
ini,” batin Mahadi berkhayal.
Mahadi
lalu memunguti daun-daun kering itu satu per satu dengan sangat cermat.Lalu
daun-daun itu dimasukkannya ke dalam kantong sampah.
“Tentu
sampai kiamat pun daun-daun itu tak akan pernah menjadi duit!” umpatnya, lalu
ia tersenyum kecut. Halaman kantor pun kini bersih.
“Mahadi…!”
Seseorang
memanggil namanya dengan suara keras.Mahadi menoleh ke belakang. Rupanya
Jasmer, Kepala Unit Satpol PP Kantor Bupati yang memanggilnya. Dengan sopan Mahadi
menyahut panggilan itu.
“Iya,
saya Pak Jasmer.Ada apa?” jawab Mahadi, seraya berjalan mendekati Jasmer dengan
sedikit membungkuk. Mahadi memang sangat sopan kepada semua orang.“Tolong
buatkan aku kopi,” kata Jasmer.“Nanti kopinya langsung bawa saja ke ruanganku,”
lanjut Jasmer meninggalkan Mahadi sambil melangkah ke dalam ruangan kantornya.
“Segera
laksanakan, Pak!” ujar Mahadi sigap. Ya, salah satu job description Mahadi
adalah membuatkan kopi atau membelikan makanan untuk pegawai-pegawai dan
atasannya. Tugas yang mirip office boy di kantor-kantor swasta.
Tak
berselang lama Mahadi telah selesai membuat segelas kopi panas. Setelah itu, ia
bergegas menuju ruang Jasmer yang tidak terkunci. Jasmer sedang menerima
telepon, wajah Kepala Satpol PP itu tampak tegang.
“Gawat!”
Itu kalimat yang terdengar oleh Mahadi saat ia menyeruak masuk ke ruang Jasmer.
Jasmer lalu meletakkan gagang telepon.Wajahnya kini tampak gusar.
“Pak
Jasmer, kopinya sudah siap… Silakan,” kata Mahadi meletakkan segelas kopi panas
di meja Jasmer.Ia lalu mohon pamit pada Jasmer yang tak menjawab basa-basinya.
Mahadi sangat maklum dengan Jasmer, karena ia adalah satu-satunya Kepala Unit
yang tak pernah memberikan uang tip kepadanya. Akan tetapi sebelum Mahadi
mencapai daun pintu, Jasmer memanggilnya.
“Hmm,
apakah Pak Jasmer akan memberiku tip?” tanyanya dalam hati.
“Mahadi…!
Sini dulu,” panggil Jasmer, suaranya tidak sekeras ketika memanggilnya
tadi.Cukup lembut dan penuh maksud.Mahadi berpaling ke arah Jasmer.
“Ada
apa Pak?” tanya Mahadi, sopan.
“Begini…,”
ragu-ragu Jasmer mengutarakan maksudnya.“Enggg, sudahlah!Nanti saja, enggak
jadi!” kata Jasmer sambil mempersilakan Mahadi untuk keluar ruangannya dengan mengibaskan
tangan.Mahadi tak banyak menyahut, lelaki itu keluar dengan patuh.Ada semacam
perasaan dongkol, tapi langsung ditepisnya jauh-jauh. Jasmer tak memberikan tip
itu sudah biasa. Namun Mahadi bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba Jasmer
memanggilnya dan kemudian tak jadi mengungkapkan sesuatu? Lalu ia pun berpikir,
situasi gawat macam apa yang sedang melanda Jasmer.
“Ah,
ada apa dengan Pak Jasmer? Seperti orang ragu-ragu dan apa pula yang gawat?”
batin Mahadi, lalu ia menggeleng-geleng kepalanya tanda tak mengerti. Adalah
sebuah pilihan yang tepat untuk tidak mencampuri urusan orang lain. Toh,
kalaupun namanya sempat dipanggil untuk sesuatu hal, belum tentu hal itu
berlaku bagi dirinya. Mahadi kemudian menuju ruangannya yang terletak di
belakang kantor.
Belum
sempat sampai ke ruangannya.Ia mendengar namanya dipanggil. Kali ini yang
memanggilnya, Rustam, supir pribadi Bupati.
Bapak
Bupati memang aneh, padahal selaku Kepala Daerah, ada beberapa supir yang
disediakan oleh Pemda, tetapi Pak Bupati selalu mempercayai mobilnya disupiri
oleh Rustam. Walaupun begitu, Rustam tidak serta-merta menjadi PNS.Menurut
informasi, Rustam digaji langsung oleh Bupati.Gaji Rustam bukan dari kas
Pemda.Lagi pula sebelum jadi Bupati, Karyadi Khasnawan–nama lengkap
Bupati–sudah jadi pengusaha yang sukses.Sehingga supir-supir resmi Bupati,
akhirnya sering makan gaji buta, mereka banyak nganggurnya.Paling-paling
sesekali menyupiri staf-staf Pemda yang mau belanja atau jalan-jalan ke mal.
Rustam
kembali memanggil Mahadi.Dikiranya Mahadi tidak mendengar panggilannya yang
pertama.
“Ada
apa Pak Rustam?”
“Gawat!”
“Gawat
apa Pak?Tadi juga Pak Jasmer bilang gawat saat bertelepon.”
“Begini,
tadi Pak Bupati hampir saja terbunuh?”
“Terbunuh?”
“Iya,
mobil kami ada yang menyeruduk dengan sengaja.Untung Pak Bupati dan saya tak
cidera, hanya mobilnya saja yang lumayan parah.”
“Diseruduk
apa?”
“Truk
tronton!”
“Gila!”
Oh,
rupanya saat ia masuk ke ruang Jasmer, Sang Kepala Satpol PP itu menerima
telepon mengenai mobil Bupati yang diseruduk truk tronton. Mahadi membuat
kesimpulan sendiri atas peristiwa itu dengan kesimpulan sederhana.
***
Berita
ditabraknya mobil Bupati keesokan hari mendominasi halaman depan koran-koran
lokal. Menjadi berita utama.Berbagai opini, ulasan dan spekulasi membumbui
berita heboh itu.Spekulasi yang bikin gerah Pemda adalah masalah perselingkuhan
Karyadi.
Sudah
bukan rahasia umum, Pak Bupati terlibat asmara dengan seorang perempuan
pengusaha batik bernama Sintawati. Pengusaha batik itu memang tidak tinggal di
ibukota kabupaten, ia menetap di Jakarta. Hanya sesekali ia datang ke kabupaten
untuk melihat pabrik dan proses produksi batiknya. Dan, tentu saja bertemu
diam-diam dengan Pak Bupati.Begitu juga sebaliknya, demi alasan tugas Pemda ke
Jakarta, Karyadi sering menyelinap diam-diam ke kamar apartemen Sintawati.
Kemungkinan
besar, Ibu Bupati yang ingin mencelakai suaminya yang berselingkuh
itu.Begitulah spekulasi yang terjadi di beberapa paragraf koran-koran.Sudah
lama Karyadi dan Wartina–nama istri Bupati–pisah ranjang.Namun, berita-berita
tak sedap tentang kehidupan orang nomor satu di kabupaten itu tak jadi besar
berkat kelihaian partai politik pendukung Karyadi yang bergerilya untuk meredam
media dan para wartawannya.
Mahadi
membaca koran lokal dengan saksama. Ia merasa rugi apabila tak membacanya
secara detail dan tuntas. Tentu, karena berita-berita itu begitu heboh
menggosipkan orang nomor satu di kabupaten ini.
”Mahadi....!”
Seseorang
memanggilnya dengan lantang, siapa lagi kalau bukan Jasmer.Bergegas Mahadi
menuju ruangan Jasmer.
Di
ruangan itu Mahadi melihat seorang perempuan yang ia sudah sangat kenal, istri
Karyadi. Ibu Bupati itu berada di ruang kantor Jasmer. Ia terlihat begitu
gelisah, duduk berdiri, duduk lagi berdiri lagi. Mahadi membungkukkan badannya
menghormati Wartina. Kepalanya ia tundukkan dalam-dalam, tak berani ia
memandang Wartina. Mahadi tampak tegang sekali.
Wartina
memang kalah cantik dibanding Sintawati, selingkuhan Pak Bupati.Wartina hanya
menang di tinggi badan saja, untuk ukuran kecantikan wajah Wartina tentu
biasa-biasa saja.Sintawati berparas sangat cantik.
”Bu,
ini Mahadi, pesuruh di kantor ini,” Jasmer melumerkan ketegangan Mahadi dan
kegelisahan Wartina.
”Oh,
Pak Mahadi, saya mau minta tolong,” kata Wartina dengan suara sedikit bergetar
tapi berwibawa.
”Siap,
Bu!” jawab Mahadi masih menunduk.
”Kau
yang membuatkan minuman untuk Bapak?”
”Betul
Ibu, setiap pagi saya membuatkan tehmanis hangat kesukaan Bapak.”
”Pak
Mahadi, mulai saat ini tolong buatkan Bapak teh manis hangat, dengan
menggunakan teh celup dari saya ini,” kata Wartina, sembari menyerahkan sekotak
teh celup dengan merk yang tak asing bagi Mahadi ke tangannya.
”Ingat,
harus pakai teh itu. Tidak boleh teh lain!”
”Laksanakan,
Bu!”
”Sana
pergi!”
”Baik,
Bu! Mohon pamit.”
***
Selanjutnya
Mahadi selalu menyuguhkan teh manis hangat pagi-pagi untuk Pak Bupati dengan
teh celup dari Ibu Bupati setiap harinya. Hingga akhirnya Mahadi tak pernah
lagi membuatkan teh manis hangat. Di suatu pagi, Pak Bupati wafat karena sakit.
Sakit karena apa, entahlah.
Tentu
semua warga kabupaten sangat bersedih, termasuk dirinya juga Rustam, supir
pribadi Pak Bupati.Pada saat pemakamam, hadir juga Sintawati.Kedua perempuan
itu saling menghujam tatap.Tatapan yang saling memendam rasa.Rasa amarah yang
berkobar-kobar.
Setelah
acara pemakamam selesai.Wartina menghampiri Sintawati.Seraya tersenyum penuh
kemenangan.Kemenangan itu telah diraihnya melalui tangan Mahadi yang tak tahu
apa-apa.
Sampai
kini, Mahadi tetap bekerja di Kantor Pemda dengan segala kesederhanaan dan
kemiskinannya. Hanya saja, ia tak lagi menyuguhkan teh manis hangat kepada
Bupati baru pengganti Karyadi, Bupati yang telah mangkat itu. Karena Bupati
yang baru, sangat suka kopi panas dengan gula setengah sendok makan saja.
Kajian Tokoh-tokoh dan
karekter dari cerpen “Mahadi Dan Teh Manis Hangat”
1.
Tokoh-tokoh dalam cerpen
·
Mahadi :
pegawai honorer di kantor Pemda, sebagai pengantar surat dan pesuruh
Pekerja keras, lugu, penurut, sayang
terhadap keluarga
·
Karyadi :
Pak Bupati
Tidak bertanggung jawab, tidak setia
·
Jasmer :
Kepala Unit Satpol PP Kantor Bupati
Pelit, suka terlibat dengan hal yang
jahat
·
Rustam :
Supir pribadi Bupati
Loyal, orang yang bisa menjaga rahasia
·
Sintawati : Pengusaha batik, selingkuhan Bupati
Berani mengambil resiko
·
Wartina :
Istri Bupati
Pembunuh berdarah dingin
2. Masalah
tiap tokoh dan penilaian terhadap para tokoh:
·
Mahadi
Masalah:
Mahadi diperhadapkan dengan masalah kemiskinan dalam hidupnya. Ia hanyalah seorang pegawai honorer di kantor Pemda yang bahkan pekerjaannya hanya sebagai pesuruh dan tukang antar surat. Dengan pekerjaan seperti itu, tentu saja upahnya pun terasa sedikit. Apalagi ia harus menghidupi kelima anaknya. Hidup Mahadi selalu dibumbui dengan hutang di sana-sini untuk memenuhi kebutuhan istri dan kelima anaknya, sehingga gaji yang diterimanya pun terasa semakin sedikit setelah dipotong untuk membayar hutang di sana-sini.Ia selalu berandai-andai tentang betapa enaknya hidup menjadi orang kaya yang tak perlu susah payah memikirkan bagaimana caranya memenuhi kebutuhan hidup.
Mahadi diperhadapkan dengan masalah kemiskinan dalam hidupnya. Ia hanyalah seorang pegawai honorer di kantor Pemda yang bahkan pekerjaannya hanya sebagai pesuruh dan tukang antar surat. Dengan pekerjaan seperti itu, tentu saja upahnya pun terasa sedikit. Apalagi ia harus menghidupi kelima anaknya. Hidup Mahadi selalu dibumbui dengan hutang di sana-sini untuk memenuhi kebutuhan istri dan kelima anaknya, sehingga gaji yang diterimanya pun terasa semakin sedikit setelah dipotong untuk membayar hutang di sana-sini.Ia selalu berandai-andai tentang betapa enaknya hidup menjadi orang kaya yang tak perlu susah payah memikirkan bagaimana caranya memenuhi kebutuhan hidup.
Penilaian terhadap tokoh:
Menurut saya, Mahadi
sebenarnya adalah sosok yang kuat dalam menjalani hidup yang serba miskin,
namun kemanusiawiannya menyebabkan ia terkadang merasa lelah dengan kehidupan
serba berkekurangannya. Hal ini terbukti pada ketegarannya menjalani
rutinitasnya serta semangatnya untuk terus bekerja walau terkadang ia
mengkhayalkan kehidupan kaya yang serba enak dan berkecukupan. Namun Mahadi
juga terlalu polos dan lugu dalam ketidaktahuannya
sebab ia bahkan tidak sadar ketika dirinya dijadikan alat untuk membunuh Pak
Bupati.
·
Jasmer
Masalah:
Permasalahan yang paling utama terletak pada dirinya sendiri, yaitu dirinya yang terlalu pelit bahkan untuk sekedar memberikan tip seribu dua ribu yang justru sangat membantu Mahadi untuk menafkahi keluarganya. Masalah yang kedua yaitu kesediaannya secara sadar yang terlibat secara dalam untuk membantu istri Bupati untuk membunuh Bupati sendiri.Ia bahkan memberikan “alat” yang ampuh sebagai senjata pembunuh, yaitu Mahadi.
Permasalahan yang paling utama terletak pada dirinya sendiri, yaitu dirinya yang terlalu pelit bahkan untuk sekedar memberikan tip seribu dua ribu yang justru sangat membantu Mahadi untuk menafkahi keluarganya. Masalah yang kedua yaitu kesediaannya secara sadar yang terlibat secara dalam untuk membantu istri Bupati untuk membunuh Bupati sendiri.Ia bahkan memberikan “alat” yang ampuh sebagai senjata pembunuh, yaitu Mahadi.
Penilaian terhadap
tokoh:
Menurut
saya, Jasmer tidak memiliki perubahan yang mengubah masalah kepelitan dirinya
dalam cerpen ini. Hingga akhir, ia masih saja menjadi orang yang pelit. Bahkan
semakin parah ketika ia membantu istri bupati dalam merencanakan dan
menyukseskan usaha pembunuhan Pak Bupati. Ketidakterpujian sikap Jasmer ini
membuat saya mencap Jasmer sebagai si jahat dalam cerpen ini, yang kemudian
mengkategorikan Jasmer sebagai tokoh pembantu antagonis.
·
Istri Bupati
Masalah:
Yang
terparah dalam dirinya, sebenarnya bukanlah masalah rumah tangganya yang
diambang kehancuran karena suaminya selingkuh, melainkan pribadi dan sikapnya
yang tidak terpuji bahkan sangat salah dalam mengambil keputusan untuk
menanggulangi masalah yaitu dengan jalan membunuh.Ia sudah cukup bermasalah
dengan perselingkuhan suaminya, ditambah lagi dengan nafsu membunuhnya yang
menyebabkannya menghalalkan segala cara.
Penilaian terhadap
tokoh:
Menurut
saya, sikap jahat dalam diri istri bupati ini bangun karena dibangunkan oleh
perselingkuhan suaminya. Perasaan dikhianati,
menyebabkan munculnya pikiran untuk membunuh bahkan itu suaminya
sendiri. Karena dengan begitu, ia mendapat kepuasan, jawaban dan penyelesaian
atas segala sakit hati, luka dan pengkhianatan yang dilakukan oleh suaminya.
Namun tetap saja dalam hal ini, saya tetap tidak setuju dengan cara penyelesaian
masalah yang dilakukan oleh istri bupati ini.
·
Pak Bupati
Masalah:
Memancing kerumitan dengan melakukan perselingkuhan yang kemudian berujung pada kematiannya. Sebagai aparat pemerintah yang banyak disorot oleh media, ia melakukan skandal yaitu perselingkuhan dengan seorang wanita pengusaha batik yang bernama Sintawati.
Memancing kerumitan dengan melakukan perselingkuhan yang kemudian berujung pada kematiannya. Sebagai aparat pemerintah yang banyak disorot oleh media, ia melakukan skandal yaitu perselingkuhan dengan seorang wanita pengusaha batik yang bernama Sintawati.
Penilaian terhadap tokoh:
Menurut
saya, Pak Bupati kurang bisa mempertanggungjawabkan dirinya sebagai seorang
aparat pemerintah.Dia melakukan skandal yang menghancurkan dirinya sendiri juga
keluarganya, serta menjadi contoh buruk terhadap masyarakatnya.Ia menjadi
takabur dengan apa yang diraihnya sejauh ini.
·
Rustam
Masalah:
Rustam merupakan supir Pak Bupati yang setia. Namun kesetiaan ini mnyebabkan rasa loyalitas yang tinggi dalam dirinya tapi justrus menjerumuskan dirinyadalam suatu tindakan tutup mulut yang salah karena secara tidak sadar ia malah melindungi dan menyembunyikan kesalahan Pak Bupati.
Rustam merupakan supir Pak Bupati yang setia. Namun kesetiaan ini mnyebabkan rasa loyalitas yang tinggi dalam dirinya tapi justrus menjerumuskan dirinyadalam suatu tindakan tutup mulut yang salah karena secara tidak sadar ia malah melindungi dan menyembunyikan kesalahan Pak Bupati.
Penilaian terhadap
tokoh:
Menurut
saya, Rustam tidak bisa dibarkan dalam hal ini.Memang loyalitas itu perlu dan
penting untuk menunjukkan kesetiaan dan kepatuhan kita terhadap pekerjaan
maupun terhadap siapa kita bekerja.Namun menjadi salah, ketika dia tidak mampu
menegaskan mana yang salah dan mana yang benar.
·
Sintawati
Masalah:
Menjerumuskan diri dalam suatu perselingkuhan dengan Pak Bupati sekalipun ia tahu bahwa Pak Bupati telah berkeluarga.
Menjerumuskan diri dalam suatu perselingkuhan dengan Pak Bupati sekalipun ia tahu bahwa Pak Bupati telah berkeluarga.
Penilaian
terhadap tokoh:
Menurut saya, tindakan dan keputusan yang diambil dan dilakukan oleh Sintawati adalah hal yang salah dan tidak terpuji.Sebagai menjadi bagai wanita, pemahaman terhadap perasaan sesama wanitanya kurang.Ia akhirnya mempermalukan diri dengan menjadi selingkuhan seorang aparat pemerintahan.Namun satu poin penting adalah keberanian Sinawati dalam mengambil resiko.
3. Kesimpulan
Menurut
saya, cerpen ini layak untuk dijadikan bahan ajar terhadap murid.Karena cerpen
ini menyajikan realita kehidupan.Entah itu masalah kemiskinan, kesetiaan,
keberanian serta tekad dan perjuangan hidup.
Akan
tetapi sesuai isi cerpen ini, saya mendapati dimana loyalitas atau kesetiaan
sangat ditekankan oleh pengarang. Hal ini dapat dilihat dari karakter sang
tokoh utama itu sendiri, yakni Mahadi yang menunjukkan kesetiaannya kepada
atasan-atasannya, mulai dari Bapak Bupati dan jajarannya yang ada di kantor
bupati, sampai pada istri Pak Bupati meski bukan pegawai di kanror Bupati.
Loyalitas
juga dapat dilihat dari karakter tokoh pembantu Rustam yang adalah supir
pribadi Pak Bupati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar